“Tidak apa-apa sayang, disini
banyak anak seumuranmu, cobalah untuk bergaul.” Aku tidak bergeming dari
tempatku berdiri, aku terus meremas bajuku dengan airmata yang membanjiri kerah
baju. Mataku merah dengan perban mengelilingi kepala. Aku berdiri disamping
lelaki yang tinggi menjulang dengan jas dan dasi yang rapi. Dia seorang petugas
sosial yang mengantarku tiga belas tahun lalu ke panti asuhan setelah aku
kehilangan orang tuaku seminggu sebelumnya dalam kecelakan mobil tunggal.
Aku, mama, dan papa akan pergi ke
puncak malam itu, untuk merayakan ulangtahunku yang ke dua belas, kondisi jalan
yang gelap dan hujan deras membuat jarak pandang hanya beberapa meter. Saat di
jalan lingkar ada sebuah truk yang terparkir dibahu jalan, karena kondisi jarak
pandang yang buruk papa tanpa sadar membanting setir ke kanan melawan arus dan
tergelincir menuju hutan, mobil kami menabarak pepohonan dan beberapa hari
kemudian yang ku ingat hanya ruangan putih yang besar, ruang anak-anak dirumah
sakit dimana aku dirawat setelah kecelakaan, ruang dimana pertama kalinya aku
membuka mata setelah kejadian yang tak terduga itu. Di dalam ruang bangsal
dengan segala riuh tangis anak-anak yang pecah, aku melihat sekeliling sesaat
mencari mama dan papa sebelum akhirnya aku terpejam lagi.
Aku cukup dewasa untuk mengetahui
apa arti kata tiada, meninggal, tewas.
Setelah beberapa jam penjelasan
yang berbelit dari pihak panti sosial, aku diantar ke panti asuhan. Aku hanya
berbaring di kamarku, makan jika dipaksa, tidak bersekolah, mandi jika dipaksa,
masa peralihan hidupku berlangsung sekitar tiga bulan. Setelahnya aku berangsur
membaik, mulai bergaul dengan penghuni panti lainnya dan bersekolah.
Sekolah lamaku lebih menjanjikan,
semua peralatan lengkap, dengan ruang olahraga yang besar, kolam renang,
lapangan untuk kegiatan atletik, ruang musik untuk kegiatan marching band,
semua ada tapi tidak disini. Sekolah ini tidak terlalu buruk, ruang kelas besar
dengan perpustakaan yang besar dan lengkap, ruang olahraganya cukup besar,
tidak ada kolam renang dan ruang musik.
Aku dibimbing seoarang guru
wanita yang cantik menuju ruang kelasku, sepanjang jalan hanya lantai yang aku
lihat, aku masih melamun bertanya ke dalam diriku sendiri kenapa aku disini.
Guru cantik itu menempatkan tasku di bangku dan mepersilahkanku duduk.
Tangan seseorang menepuk pundakku
dan menghancurkan lamunanku. Tangan yang sangat dingin, aku menolehkan muka dan
melihat siapa yang sudah menghancurkan lamunanku.
Mata cokelat muda terang
menyambutku dengan hangat, sangat berbeda dengan tangannya yang sedingin es.
Hari itu merupakan hari pertama aku bertemu Andre, kita teman sekelas.
Semenjak hari itu aku dan Andre
berteman, kita selalu bersama. Kami masuk SMP yang sama dan saat SMA dia
memintaku menjadi kekasihnya. Kami tak terpisahkan.
Saat SMA aku bekerja paruh waktu
di toko musik milik paman Andre, itu merupakan hal yang terindah, karena musik
adalah hidupku. Papaku seoarang komposer musik dan ibuku pemain cello, ibuku
sering konser keluar negeri dan biasanya aku dan papa selalu hadir di bangku
depan, VIP, sangat memuaskan.
Aku hanya menghabiskan waktu
selama sepuluh tahun dengan ibuku, dia meninggal saat usiaku sepuluh tahun
karena serangan jantung. Setahun setelahnya papa menikah lagi dengan seorang
wanita yang baik dan aku panggilnya mama, itupun hanya berlangsung selama
kurang dari dua belas bulan. Sebelas bulan lebih dua puluh hari yang bahagia
dan penuh siksa.
Aku bahagia melihat papa bahagia
setelah kehilangan ibu, namun setelah ia menikah lagi, tidak ada hari tanpa
cemooh di sekolahku, mereka memanggil mama dengan sebutan yang tidak pantas,
mengejekku, membuatku sakit hati, apa salah mama, dia baik, kenapa tidak ada
kesempatan baginya untuk memperlihatkan betapa baiknya dia. Semua cemooh itu mebuatku
sangat muak dan memutuskan untuk sekolah dirumah, lebih baik daripada aku buat
keributan di sekolah.
bersambung ...............
minggu depan aku update, ditunggu
yaaaa
No comments:
Post a Comment